Minggu, 09 Januari 2011

bahaya aktivasi otak tengah

Perdebatan mengenai otak tengah; perlu tidaknya otak tengah
tersebut diaktifkan; terus terjadi. Masyarakat makin memahami
pentingnya menyeimbangkan kedua belahan otak kanan dan kiri, karena
masing-masing belahan tersebut memiliki beragam fungsi yang saling
mengisi dalam perjalanan panjang kehidupan seorang manusia.
Ironisnya seolah belum puas dengan kekayaan kedua belahan otak kita,
sekelompok ilmuwan mulai mengotak-atik dan mencari bagian lain, yang
dinamakan otak tengah. Mereka mencari tahu apakah dengan mengaktivasi
otak tengah kecerdasan seseorang akan makin bertambah, atau mengubah
mereka menjadi jenius, serta memiliki berbagai kecerdasan lain yang
supra-natural?
Di kalangan medis otak tengah ini dikenal sebagai bagian dari
otak manusia yang memiliki fungsi sangat vital, misalnya sebagai pusat
pengendali jantung, pembuluh darah, pernafasan, * refleks-refleks, dan
masih banyak lagi. Berbagai tulisan ilmiah mengenai otak tengah ini
bisa kita baca dalam berbagai tulisan sepuluh tahun terakhir.
Sayangnya sampai hari ini belum ada satupun publikasi ilmiah yang
berani menyatakan bahwa aktivasi otak tengah berhubungan dengan
kecerdasan seseorang, apalagi membuat IQ seseorang meloncat jauh
melebihi IQ manusia pada umumnya, atau dikenal dengan istilah jenius.
Dahulu orang berpikir bahwa kecerdasan identik dengan IQ,
meskipun mereka mengetahui dalam test IQ yang diukur hanyalah
kecerdasan seseorang di bidang matematika, linguistik dan sedikit
visuo-spatial.
Saat ini wawasan kita mulai terbuka, melalui hasil penelitian Prof
Gardner di tahun 1980an diketahui bahwa ada delapan jenis kecerdasan
yang berbeda yang bisa dimiliki oleh masing-masing kita dalam porsi
yang berbeda. Masing-masing kecerdasan tersebut menempati area yang
berbeda di sisi kiri dan kanan otak kita. Kecerdasan yang bervariasi
ini disebut Kecerdasan Multipel (Multiple Intelligence).
Sehubungan dengan otak tengah tadi, muncul pertanyaan, adakah
hubungan antara kecerdasan ini dengan fungsi otak tengah / mid brain
seseorang? Benarkah aktivasi otak tengah membuat seseorang makin
cerdas dan jenius, karena memiliki kemampuan supra-natural?
Anatomi dan Fungsi Otak
Pada saat lahir seorang anak memiliki 100 miliar sel otak yang
disebut sel neuron – jumlah ini sama dengan banyaknya bintang di
galaksi Bima Sakti – serta 1 Triliun sel glia, yang berfungsi sebagai
sel pelindung bagi sel-sel otak tadi. Pembentukan sel-sel otak ini
dimulai sejak minggu ketiga sel sperma membuahi sel telur, dengan
kecepatan tumbuh 250 ribu sel/menit. Pada minggu kesepuluh sel-sel
otak menjadi makin sibuk mempersiapkan diri agar bisa mulai menerima
stimulus / rangsangan dari luar.
Saat usia 3 tahun telah terbentuk 1000 triliun jaringan koneksi /
sinapsis, jumlah ini ternyata 2 kali jumlah jaringan orang dewasa.
Satu sel otak mampu menjalin 15 ribu koneksi dengan sel lain, jaringan
yang sering digunakan akan semakin kuat dan permanen, tetapi yang
jarang digunakan akan mati.
Otak manusia dibagi menjadi enam divisi utama, yaitu Serebrum,
Diensefalon (kedua bagian ini sering disebut sebagai Forebrain /
Pro-ensefalon), Serebelum, Midbrain (Mesencephalon), Pons dan Medula
Oblongata. Tiga bagian terakhir ini disebut brain stem atau batang
otak.
Midbrain (Mesensefalon) terdiri dari superior colliculi dan inferior
colliculi. Superior colliculi merupakan pusat refleks gerakan kepala
dan bola mata ketika berespon terhadap rangsang visual, sedangkan
inferior colliculi merupakan pusat refleks gerakan kepala dan tubuh
ketika berespon terhadap rangsang suara.
Menjadi Jenius?
Nah dikaitkan dengan janji, cukup dengan mengaktifkan otak tengah
(mesensefalon) mampu membuat seorang manusia menjadi jenius; Apakah
definisi jenius? Range IQ normal adalah 90 – 110. Dengan IQ normal
seorang anak bisa tamat SMA, sebagian bahkan tamat S1. Di atas angka
tersebut seseorang disebut Superior, di atasnya lagi adalah Very
Superior, dan jika IQ nya lebih dari 180 orang akan disebut jenius.
Seringkali peringkat IQ bisa membuat anak stres, padahal IQ tak bisa
mengukur kecerdasan emosional (EQ) seseorang.
Anak-anak yang sulit konsentrasi seringkali membuat kewalahan
para orang-tua dan guru. Orang-tua dan guru menduga anak tersebut
bodoh karena nilai akademik di sekolah sangat kurang, padahal bisa
saja mereka ini sebenarnya memiliki kecerdasan yang baik, tetapi
rentang waktu perhatian mereka sangat pendek.
Rentang waktu perhatian ideal anak usia 5 tahun hanya berkisar 5
menit saja, sedangkan anak-anak usia 15 tahun berkisar 15 menit. Untuk
membuat mereka bertahan lebih lama, para pendidik diharapkan mampu
menciptakan suasana belajar yang kondusif dan menyenangkan. Hal ini
haruslah dilakukan secara berkala saat konsentrasi dan perhatian
anak-anak mulai menurun.
Dalam keadaan tertentu seperti takut, sedih akibat depresi dan
berbagai stres / tekanan mental lainnya seseorang menjadi kehilangan
daya konsentrasi, Orang-tua biasanya membawa anak-anak tersebut untuk
berkonsultasi dengan psikiater ataupun psikolog dengan keluhan
kesulitan belajar dan menurunnya prestasi akademik.
Sebenarnya peranan orang-tua sangat besar untuk proses belajar
seorang anak, apa yang orang-tua pikirkan, katakan dan lakukan akan
terus melekat dalam benak anak-anak, mempengaruhi suasana dan
kenyamanan belajar mereka dan mempengaruhi jalan hidup serta masa
depan mereka. Anak-anak bisa mengalami kebahagiaan, atau sebaliknya
depresi – sama seperti orang dewasa yang lain – karena perkataan dan
tindakan orang-tua mereka.
Mengaktivasi Otak
Ada cukup banyak cara yang biasa dipakai untuk mengaktivasi otak,
misalnya dengan alunan musik klasik (yang paling poluler karya-karya
Mozart), lagu-lagu / instrumentalia tertentu, gerakan-gerakan tubuh,
menciptakan suasana tertentu, bermain dengan angka-angka, menambahkan
berbagai bahan chemical, dan masih banyak cara lainnya. Banyak
institusi menawarkan berbagai pelatihan yang menjanjikan untuk
meningkatkan IQ tersebut, dengan memasukkan berbagai metode yang
diyakini dapat menghilangkan tekanan mental para peserta selanjutnya
mempermudah pengaktifan bagian-bagian tertentu otaknya.
Beberapa ilmuwan mencoba mempelajari tentang otak tengah / mid
brain. Harapan mereka sesudah penemuan yang mencengangkan tentang kiri
dan kanan, sekaranglah saatnya mengungkap fenomena tentang otak
tengah. Metode yang digunakan bukan sekedar cara-cara klasik seperti
yang kita kenal di atas, karena program neuro-linguistik (NLP) mereka
sisipkan demi sebuah proses aktivasi yang nantinya mengarah pada suatu
keadaan extra sensory perception (ESP).
Suasana dibuat sedemikian rupa agar semua peserta yang ada di ruangan
tersebut memasuki Alpha State, suatu fase dimana gelombang lambat di
otak manusia, yang membuat seseorang mudah dipengaruhi dan diisi oleh
berbagai hal oleh para instruktur. Metode yang cukup popular dikenal
saat ini adalah BFR (blindfold reading).
Sebagai informasi, di Rusia diperlukan waktu satu tahun bagi seorang
siswa untuk mampu melakukan aksi blindfold. Di Jepang, sedikitnya
perlu waktu tiga bulan untuk melakukannya. Ajaibnya di Indonesia
suatu perusahaan pelatihan menyatakan hanya perlu waktu 12 jam untuk
membuat anak-anak jenius!
Aktivasi dianggap berhasil apabila mereka berhasil mengenali
berbagai macam benda dan halangan di sekitarnya dalam keadaan mata
ditutup. Dengan demikian anak-anak tersebut akan mampu membaca,
menggambar, menghitung, berlari dan menghindari semua rintangan tanpa
menggunakan indera penglihatan mereka yaitu mata.
Bahkan mereka berani menjanjikan, anak-anak akan memiliki kemampuan
tembus pandang, menyusun kartu remi secara urut tanpa melihat, dapat
membaca suatu dokumen rahasia di balik tembok, menghitung uang yang
ada dalam dompet di saku baju seseorang, merangkum seluruh isi
textbook dalam waktu singkat, memprediksi hal-hal buruk yang bakal
terjadi esok, bahkan membaca pikiran orang-orang yang ada di
sekelilingnya agar tak mudah tertipu.
Hal itu bagi mereka dianggap sebagai talenta manusia baru di jaman
modern ini, karena memiliki kecerdasan tersendiri (jenius) dengan
kemampuan extra sensory perception (ESP), sehingga nantinya kita tak
lagi tertarik menonton acara pertandingan sulap The Master.
Pandangan di atas tentu tidak begitu saja dapat dibenarkan,
karena secara medis kita bisa mengenali fungsi fisiologi seluruh organ
dalam tubuh kita. Mengaktifkan dan menciptakan seseorang untuk
memperoleh pengalaman extra sensory perception sudah jauh melenceng
dari ranah medis fisiologis.
Bahkan hal ini erat kaitannya dengan terjadinya berbagai gangguan
mental pada manusia, yang salah satu gejalanya adalah mampu
mendengar, melihat, merasakan dan membaca hal-hal yang tidak bisa
didengar, dilihat, dirasakan dan dibaca oleh orang-orang sehat
lainnya. Sebagai contoh pada kasus-kasus Skizofrenia pasien merasa
yakin dengan kemampuannya membaca isi hati dan pikiran orang-orang
lain di sekelilingnya, serta meyakini berbagai penglihatan dan
pendengaran gaib yang bisa membuat orang lain berdiri bulu kuduknya.
Sampai hari ini belum ada satupun publikasi yang menyatakan
bahwa otak tengah dapat diaktifkan untuk meningkatkan kecerdasan
manusia, apalagi meng-upgrade nya menjadi jenius. Musa A. Haxiu &
Bryan K. Yamamoto (2002) membuat suatu penelitian midbrain pada 24
ekor musang jantan. Hasilnya aktivasi midbrain di daerah
periaquaductal gray (PAG) ternyata justru mengakibatkan otot-otot
polos pernafasan menjadi relaksasi, sehingga mengganggu pernafasan
hewan-hewan tersebut.
Ada beberapa tahapan yang harus dilewati oleh suatu lembaga yang
memiliki ide penelitian sebelum dilemparkan dan dimanfaatkan untuk
kepentingan publik. Minimal telah melalui 10 tahun percobaan di
laboratorium (in vivo), setelah lulus uji klinis, barulah diujikan
pada hewan-hewan percobaan dengan evaluasi sekitar 10 tahun. Pada
tahap ketiga barulah diujikan pada para relawan (biasanya mereka
dibayar) dan kembali dilakukan evaluasi. Dengan demikian dibutuhkan
waktu sekitar 30 tahun untuk membawa suatu metode baru yang aman dalam
masyarakat.
Menurut Peter D. Larsen, Sheng Zhong, dkk. (2001) ada beberapa
hal yang berubah karena aktivasi midbrain, misalnya tekanan arteri
utama (mean arterial pressure), aliran darah di ginjal (renal blood
flow), aliran darah di daerah paha (femoral blood flow), persarafan
daerah bawah jantung (Inferior cardiac), per-syaraf-an simpatis dan
denyut jantung akan makin meningkat, sebaliknya tekanan darah justru
turun, aktivitas persarafan di daerah tulang belakang juga turun.
Peningkatan tekanan arteri, aliran darah ginjal dan paha tersebut bisa
mencapai 328%.
Peranan orang-tua
Seringkali orang-tua terlalu sibuk sehingga tidak punya cukup
waktu untuk memperhatikan buah hati mereka. Waktu 24 jam sehari terasa
kurang, karena saat anak-anak berangkat sekolah pagi-pagi orang-tua
tak bisa bangun dan mengantar mereka, mereka baru pulang kembali ke
rumahnya pada malam hari sesudah anak-anak tertidur. Sebagai
pembenaran diri sendiri para orang-tua sering berkilah, bahwa kualitas
pertemuan mereka dengan anak-anak jauh lebih penting daripada
kuantitas waktu. Benarkah?
Sebuah intitusi bahkan berani menjanjikan bahwa dengan
menyisihkan waktu 15-30 menit saja selama 20-30 hari untuk membantu
anak-anak berlatih sama artinya dengan mendampingi mereka seumur hidup
hingga usia 18 tahun. Semudah itukah hubungan orang-tua dengan anak
terjalin? Cukupkah waktu yang hanya 15-30 menit tadi untuk berdiskusi,
saling curhat, atau sekedar bermain bersama dan bercanda?
Hubungan orang-tua dan anak tidak bisa dibatasi seperti halnya
sebuah mata pelajaran di sekolah. Memang ikatan emosional diantara
mereka akan sangat menentukan kualitas hubungan yang terjalin.
Idealnya orang-tua memiliki waktu yang tak terbatas untuk
anak-anaknya, demi sebuah proses kematangan dan kemandirian. Bahkan
saat anak-anak beranjak dewasa dan menikah seringkali mereka masih
ingin duduk bermanja-manja dengan orang-tuanya. Saat mereka menghadapi
berbagai permasalahan hidup salah satu tempat yang nyaman untuk
berbagi adalah orang-tua mereka.
Target dan evaluasi pembuktian kejeniusan sesudah aktivasi otak tengah
Sesudah melalui program latihan ini anak-anak akan mempunyi
kemampuan untuk melihat dengan sentuhan (skin vision). Sebagian anak
lainnya yang telah teraktifasi otak tengahnya mampu melihat kartu
secara detail dengan penciuman atau pendengarannya. Sebagian lainnya
mengatakan mereka mampu melihat, menulis, membaca, dan mewarnai di
dalam kegelapan total. Selain itu mereka juga akan memiliki Loving
Inteligence. Mereka adalah individu yang seimbang dan mengasihi orang
lain seperti sang pencipta.
Bagaimana dengan harapan orang-tua yang telah mengirim dan
membayar biaya yang cukup tinggi demi mengikutkan anak-anak mereka
dalam pelatihan ini? Setelah sekian bulan tentu saja para orang-tua
berharap anak-anak mereka akan memiliki prestasi akademik yang lebih
baik. Secara teoritis, nilai sekolah seharusnya meningkat, karena
selepas aktifasi otak tengah tersebut, memori dan konsentrasi akan
meningkat dan cukup banyak potensi penting dalam diri anak yang akan
dibangkitkan. Namun kenyataannya tidaklah sesederhana itu karena
peningkatan kemampuan akademis ternyata tidak sesederhana yang
dibayangkan.
Penelitian Bjorn H. Schott, Constanze I Seidenbecher dkk. (2006)
menyatakan bahwa pada manusia, memory seseorang dipengaruhi oleh
banyak faktor, jadi tidak sama dengan binatang. Telah dilakukan
pembuktian secara anatomi dan behavior dengan mempergunakan alat MRI,
diperoleh hasil yang tidak signifikan. Yang membedakan memori adalah
faktor genetik (kromosome 17q11 dan 7q36), hal ini dikenal sebagai
polymorphisme dopamine pada kromosom.
Hal ini yang tentunya menimbulkan keprihatinan tersendiri bagi
masyarakat, karena sebelumnya orang-tua begitu antusias mengharapkan
anaknya akan berubah menjadi anak-anak yang jenius dan memiliki banyak
kemampuan lebih sesudah mengikuti program pelatihan otak tengah ini,
lagipula orang-tua telah mengeluarkan sejumlah besar biaya.
Menurut Bjorn H. Schott, Daniela B. Sellner dkk. (2004) terdapat
hubungan erat antara formasi memori di hipokampus dan neuro-modulasi
dopaminergik, terutama di Ventral Tegmental Area (VTA) dan medial
Substansia Nigra midbrain. Teknik yang dipakai untuk mengaktivasi otak
disesuaikan dengan lokasi, memakai kata-kata yang menyenangkan,
hitungan-hitungan silabus, dan sebagainya. Namun aktivasi tersebut
tidak relevan dengan tugas-tugas yang harus dipelajari.
Tulisan Hugo D. Critchley, Peter Taggart dkk. (2005) membuat kita
terperangah, karena ternyata induksi lateralisasi aktifitas midbrain
dapat mengakibatkan mental stres, serta berbagai stres lain yang akan
memicu gangguan irama jantung dan kematian mendadak (sudden death).
Penyebabnya adalah karena tidak seimbangnya dorongan simpatetik
persyarafan jantung.
Perlukah aktivasi otak tengah?
Orangtua perlu menghargai setiap talenta yang dimiliki
anak-anaknya, karena pada dasarnya semua anak adalah cerdas.
Kecerdasan ini tidak bisa disamakan dengan IQ, karena saat ini kita
telah mengenal delapan macam kecerdasan, yang dikenal sebagai multiple
intelligence yang ada dalam diri manusia. Mereka yang tidak bisa
matematika dan IQ nya rendah bukan berarti tidak cerdas, karena
mungkin saja mereka memiliki kecerdasan inter personal yang baik.
Suatu tantangan bagi para orangtua dan kita semua yang memiliki
anak, mampukah kita menghasilkan anak-anak yang bukan sekedar CERDAS,
tetapi juga BAIK dan BERMORAL? Cerdas bahkan genius saja belumlah
cukup. Karena dengan kecerdasan saja tidak menjamin mereka membuat
dunia ini menjadi lebih baik. Banyak orang-orang cerdas justru
mencelakai orang lain, memanipulasi suatu keadaan demi keuntungan
dirinya sendiri.
Mengapa dalam waktu 12 jam pelatihan atau satu setengah hari
saja anak-anak tersebut bisa berubah? Salah satunya adalah kenyataan
bahwa anak-anak dengan perilaku bermasalah sebenarnya membutuhkan
perhatian dari orangtua mereka. Dalam program pelatihan midbrain
tersebut semua orangtua diharapkan memperhatikan anaknya, mau melatih
kembali anak-anak tersebut di rumah, termasuk setelah latihan selesai.
Yang terjadi di sini sebenarnya adalah anak-anak tersebut dilatih
untuk peka terhadap berbagai bahaya dan rintangan yang ada di depan,
serta ‘dipaksa untuk bersikap dan berperilaku lebih baik’ karena
mereka telah diberikan teladan yang baik oleh orangtua dan orang-orang
dewasa di sekelilingnya.
Penutup
Yang terjadi pada anak-anak tersebut sebenarnya bukan JENIUS
(memiliki IQ yang sangat tinggi atau di atas 140), melainkan latihan
untuk suatu kewaspadaan (AWARENESS) terhadap apapun yang ada di
sekeliling mereka.
Kondisi semacam ini perlu kita cermati lebih baik, mengingat kondisi
awareness yang berlebihan akan membuat seseorang mengalami berbagai
gangguan jiwa, dari gejala yang ringan berupa Gangguan Cemas
Menyeluruh, sampai tipe berat berupa Gangguan Paranoid.
Itulah sebabnya orangtua diminta waspada dan berhati-hati sebelum
mengirim anak-anak mereka ke suatu institusi yang menawarkan sanggup
mengubah anak-anak menjadi jenius dalam waktu singkat.
Orangtua perlu menghargai setiap talenta yang dimiliki
anak-anaknya, karena pada dasarnya semua anak adalah cerdas. Suatu
tantangan bagi para orangtua dan kita semua yang memiliki anak,
mampukah kita menghasilkan anak-anak yang bukan sekedar CERDAS, tetapi
juga BAIK dan BERMORAL? Cerdas bahkan genius saja belumlah cukup.
Karena dengan kecerdasan saja tidak menjamin mereka membuat dunia ini
menjadi lebih baik. Banyak orang-orang cerdas justru mencelakai orang
lain, memanipulasi suatu keadaan demi keuntungan dirinya sendiri.


lia aulia fachrial
2pa01
15509806

Keuntungan aktivasi otak tengah

a)Meningkatkan Kemampuan Mengasihi Orang Lain
Otak tengah yang telah teraktivasi dapat membuat keseimbangan hormon dalam tubuh seseorang menjadi lebih baik. Salah satu fungsi otak tengah adalah mengatur hormon, di mana area yang mendapat pengaruh cukup besar adalah emosi. Seseorang yang otak tengahmya telah diaktifkan mempunyai keseimbangan emosi yang sangat baik dan mampu mengontrol emosinya dengan lebih baik.
b)Meningkatkan Daya Ingat
Meningkatnya daya ingat dapat membuat seseorang mampu belajar banyak dalam tempo yang lebih singkat. Jika dia belajar dengan waktu yang sama dengan orang lain, dia akan mendapat lebih banyak. Peningkatan daya ingat ini berhubungan langsung dengan semakin meluasnya jaringan pada sel otak seseorang.
c)Meningkatkan Kemampuan Inovasi dan Kreativitas
Inovatif adalah mampu menemukan dan menciptakan hal-hal baru. Kemampuan inovasi dan kreatifitas yang tinggi dapat dipergunakan untuk menghasilkan produk/sesuatu yang baru dan juga dapat dipergunakan untuk mencari alternatif pemecahan masalah yang baru.
d)Meningkatkan Konsentrasi
Meningkatnya konsentrasi dapat meningkatkan daya tangkap seseorang. Setelah otak tengahnya teraktivasi, seseorang bisa menangkap hal-hal yang rumit dengan lebih baik dan lebih mudah mengerti atau memahami sesuatu.
e)Meningkatkan Kemampuan Fisik dalam Berolahraga
Otak tengah adalah bagian otak yang mengatur gerakan tubuh. Banyak anak merasakan peningkatan dalam pengontrolan gerakan tubuh setelah otak tengah mereka diaktivasi, terutama ketika berolahraga yang membutuhkan ketelitian tinggi. Manfaatnya bukan hanya dirasakan oleh mereka yang senang berolahrega tetapi juga oleh mereka yang senang dengan tarian dan gerakan tubuh lainnya. Gerakan yang banyak membutuhkan koordinasi mata dengan bagian tubuh yang lain akan banyak sekali ditingkatkan dengan aktifnya otak tengah.
f)Meningkatkan Keseimbangan Otak Kanan dan Otak Kiri
Keuntungan yang paling terasa pada anak-anak yang telah diaktivasi otak tengahnya adalah otak kanan dan otak kiri yang semakin seimbang. Keseimbangan ini akan membuat anak tersebut lebih mudah berhubungan dengan orang lain.
g)Meningkatkan Keseimbangan Hormon
Banyak sekali bagian dari tubuh kita yang diatur oleh hormon. Setiap hormon mempunyai fungsi yang berbeda. Otak tengah yang telah aktif membuat hormon-hormon ini menjadi seimbangdan berfungsi dengan harmonis dan hal ini membuat seseorang bisa menjadi lebih sehat dengan otak tengah yang aktif.
h)Meningakatkan Daya Intuisi
Intuisi adalah kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan tanpa masukan atau tanpa menggunakan alasan apapun. Jika kita mendapatkan intuisi kita tidak tahu dari mana asalnya. Otak kanan seringkali dianggap sebagai bagian otak yang bertanggung jawab atas intuisi yang muncul di kepala kita. Otak tengah dapat menggabungkan kemampuan logis otak kiri dan kemampuan intuisi otak kanan menjadi suatu intuisi yang sangat tepat. Seorang anak yang telah diaktifkan otak tengahnya akan mempunyai kemampuan intuisi yang lebih baik. Dengan latihan yang cukup lama dan intensitas yang cukup, ia dapat memprediksi.
i)Manfaat Secara Umum
Setelah otak tengah teraktivasi, masalah mental dapat diminimalisasikan. Oleh sebab itu, seorang anak yang hiperaktif dapat duduk dengan tenang, anak yang terlalu diam menjadi lebih aktif karena anak-anak tersebut telah memiliki otak tengah yang dominan. Hanya orang-orang yang dominan otak tengahnya yang dapat mengontrol otak kanan dan otak kiri sekaligus.
Umumnya masyarakat Indonesia didominasi oleh otak kiri. Penuh perhitungan, iri hati atau penuh kebencian biasanya muncul dari otak kiri. Jika otak kanan menjadi dominan kita akan penuh rasa kasih dan mengandalkan perasaan. Tentu saja menjadi keinginan kita semua untuk melihat masyarakat yang pandai sekaligus ramah tamah. Hal ini dimungkinkan dengan adanya dominasi otak tengah yang memungkinkan kedua otak berfungsi dengan baik dan benar.


lia aulia fachrial
2 pa01
15509806

Kamis, 06 Januari 2011

PENGARUH ILMU KOMPUTER, PSIKOLOGI KOGNITIF DAN ILMU ERGONOMI LINGUISTIK TERHADAP IMK

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada tim penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul:
“PENGARUH ILMU KOMPUTER, PSIKOLOGI KOGNITIF DAN ILMU ERGONOMI LINGUISTIK TERHADAP IMK”
Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
Tim penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih dari jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, tim penulis telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, tim penulis dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan,saran dan usul guna penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya tim penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.




Depok, 6 Januari 2011

PENULIS

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
“HCI is about designing computer system that suport people so that, they can carry out their activities, productively, and safety” – jenny preese. Interaksi manusia dan komputer adalah suatu rancangan sistem komputer yang mendukung atau membantu manusia.
“It’s commonly used interchangeably with term such as “man-machine interaction” (MMI), HCI is a study of the interaction between humans and computers. Human computer interaction = interaksi manusia dengan komputer yang secara umum adalah mempelajari suatu interaksi yang terjadi antara manusia dengan komputer.
Antara manusia dengan manusia terjadi interaksi yang beragam caranya. Dapat secara berdialog, menggunakan suatu bahasa yang dikenal antar manusia atau melalui simbol-simbol yang diciptakan oleh manusia itu sendiri. Bagaimana manusia dapat berinteraksi atau berdialog dengan komputer? Bagaimana manusia dapat menciptakan suatu dialog yang dapat di mengerti oleh komputer demikian juga sebaliknya?

B. MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas maka timbul masalah :
a) Apa pengertian dari Interaksi manusia dan komputer?
b) Bagaimana pengaruh dari berbagai bidang terhadap interaksi manusia dan komputer?

C. TUJUAN
Tujuan dari pembahasan ini adalah untuk memahami lebih dalam pengaruh interaksi manusia dan komputer dengan bidang-bidang ilmu komputer dan psikologi kognitif.

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN IMK
Interaksi manusia dan komputer (IMK) adalah sebuah hubungan antara manusia dan komputer yang mempunyai karakteristik tertentu untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan menjalankan sebuah sistem antarmuka (interface).
IMK dalam konteks kerja dan tugas user melibatkan :
- Desain
- Implementasi
- Evaluasi
IMK berasal dari berbagai disiplin bidang ilmu atau Yang terlibat dalam IMK adalah
‐ Psikologi dan ilmu kognitif : memberikan dasar pengetahuan tentang persepsi user, kognitif, kemampuan memecahkan masalah.
‐ Ergonomi : kemampuan fisik user
‐ Sosiologi : kemampuan memahami konsep interaksi.
‐ Ilmu komputer dan teknik : membuat teknologi.
‐ Bisnis : pemasaran.
‐ Desain grafis : presentasi interface.
‐ Dan lain-lain.

B. BIDANG ILMU KOMPUTER YANG MEMPENGARUHI IMK
Dalam bidang computer, kita dapat berbicara baik dari sisi perangkat keras maupun perangkat lunak. Untuk sisi perangkat keras, pastilah tidak dapat lepas dari dari pembicaraan tentang teknik elektronika, karena dalam bidang inilah kita dapat mempelajari banyak sekali aspek yang berhubungan dengan perangkat keras computer. Selain perangkat keras juga perlu adanya dibekali keahlian dari sisi perangkat lunak sehingga kita mampu mengimplementasikan hasil rancangan ke dalam program aplikasi. Dengan kata lain, bidang ini memberikan kita semacam kerangka kerja yang memungkinkan kita untuk merancang sistem Interaksi Manusia-Komputer.



C. BIDANG ILMU PSIKOLOGI KOGNITIF YANG MEMPENGARUHI IMK
Dalam bidang psikologi, diharapkan agar program aplikasi yagn kita susun dapat dimanfaatkan oleh pengguna lain, sebab pengguna sendiri mempunyai sifat yang beraneka ragam sehingga sebagai para perancang sistem IMK juga harus mempelajari aspek psikologi pengguna untuk dapat memahami bagaimana pengguna dapat menggunakan sifat dan kebiasaan baiknya, menggunakan persepsi dan pengolahan kognitif serta ketrampilan motorik yang dimilikinya agar kita dapat menjodohkan mesin dengan manusia untuk mendapatkan kerja sama yang serasi. Psikologi eksperimental menyediakan dasar teknik evaluasi formal untuk mengukur unjuk kerja dan opini terhadap sistem manusia-komputer.

D. BIDANG ILMU ERGONOMIC DAN LINGUISTIK YANG MEMPENGARUHI IMK
Ergonomik berhubungan dengan aspek fisik untuk mendapatkan lingkungan kerja yan nyaman. Bentuk fisik seperti meja dan kursi kerja, layar tampilan, bentuk papan ketik, posisi duduk, pengaturan lampu, kebersihan tempat kerja, dan beberapa aspek lain akan sangat berpengaruh pada kenyamanan lingkungan kerja. meski sifat dari seorang pengguna dengan pengguna lain berbeda, tetapi mereka pasti menginginkan adanya lingkungan kerja yang nyaman ketika mereka bekerja dengan computer karena biasanya Orang yang bekerja di depan terminal komputer biasanya untuk jangka waktu yang cukup lama.
Pada saat user menggunakan komputer, seolah-olah user sedang melakukan dialog dengan komputer yang ada dihadapan user. Untuk dapat melakukan dialog tentunya kita memerlukan sarana komunikasi yang memadai. Saran komunikasi ini berbentuk suatu bahasa khusus misalnya saja bahasa grafis, bahsa alami, bahasa menu, ataupun bahasa perintah. Linguistik merupakan cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang bahasa yang mencakup. Beberapa aspek seperti komputasi linguistik dan teori bahasa formal membentuk bidang khusus dalam ilmu komputer. Sarana komunikasi inilah yang akan mengarahkan pengguna ketika pengguna berurusan dengan komputer.

BAB III
KESIMPULAN

Interaksi manusia dan komputer (IMK) adalah sebuah hubungan antara manusia dan komputer yang mempunyai karakteristik tertentu untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan menjalankan sebuah sistem antarmuka (interface). IMK di pengaruhi oleh bidang ilmu komputer, ilmu psikologi kognitif dan ilmu ergonomic dan linguistik.

REFERENSI

Rubenstein David. 2003. Kedokteran Klinis. Edisi VI. Jakarta : Erlangga.
Harwoord-Nuss. 2010. Clinical Practice Of Emergency Medicine. Edisi V. Philadelpia : Wolter Kluer Bussiness.
Kartini Kartono, Dali Gulo. 1987. Kamus Psikologi. Universitas Michigan : Pionir Jaya.
www.google.com
Thursday, 6th january 2011




Lia aulia fachrial
15509806
2 pa 01

Selasa, 28 Desember 2010

Makalah anak


AUTISME
Psikologi dan Teknologi Internet



Lia Aulia Fachrial
2 pa 01
15509806
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
BAB 1
PENDAHULUAN

I.      LATAR BELAKANG
Diperkirakan terdapat 400.000 individu dengan autisme di Amerika Serikat. Sejak tahun 80 – an, bayi-bayi yang lahir di California – AS, diambil darahnya dan disimpan di pusat penelitian Autisme. Penelitian dilakukan oleh Terry Phillips, seorang pakar kedokteran saraf dari Universitas George Washington. Dari 250 contoh darah yang diambil, ternyata hasilnya mencengangkan; seperempat dari anak-anak tersebut menunjukkan gejala autis. National Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY) memperkirakan bahwa autisme dan PDD pada tahun 2000 mendekati 50 – 100 per 10.000 kelahiran. Penelitian Frombonne (Study Frombonne: 2003) menghasilkan prevalensi dari autisme beserta spektrumnya (Autism Spectrum Disorder/ASD) adalah: 60/10.000 – best current estimate dan terdapat 425.000 penyandang ASD yang berusia dibawah 18 tahun di Amerika Serikat. Di Inggris, data terbaru adalah: 62.6/10.000 ASD. Autisme secara umum telah diketahui terjadi empat kali lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan yang terjadi pada anak perempuan. Hingga saat ini penyebabnya belum diketahui secara pasti. Saat ini para ahli terus mengembangkan penelitian mereka untuk mengetahui sebabnya sehingga mereka pun dapat menemukan ‘obat’ yang tepat untuk mengatasi fenomena ini. Bidang-bidang yang menjadi fokus utama dalam penelitian para ahli, meliputi; kerusakan secara neurologis dan ketidakseimbangan dalam otak yang bersifat biokimia. Dr. Ron Leaf saat melakukan seminar di Singapura pada tanggal 26 – 27 Maret 2004, menyebutkan beberapa faktor penyebab autisme, yaitu:
§  Genetic susceptibility – different genes may be responsible in different families
§  Chromosome 7 – speech / language chromosome
§  Variety of problems in pregnancy at birth or even after birth
Meskipun para ahli dan praktisi di bidang autisme tidak selamanya dapat menyetujui atau bahkan sependapat dengan penyebab-penyebab di atas. Hal terpenting yang perlu dicatat melalui hasil penelitian-penelitian terdahulu adalah bahwa gangguan autisme tidak disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat psikologis, misalnya karena orang tua tidak menginginkan anak ketika hamil.
Bagaimana di Indonesia? Belum ditemukan data yang akurat mengenai keadaan yang sesungguhnya di Indonesia, namun dalam suatu wawancara di Koran Kompas; Dr. Melly Budhiman, seorang Psikiater Anak dan Ketua dari Yayasan Autisme Indonesia menyebutkan adanya peningkatan yang luar biasa. “Bila sepuluh tahun yang lalu jumlah penyandang autisme diperkirakan satu per 5.000 anak, sekarang meningkat menjadi satu per 500 anak” (Kompas: 2000). Tahun 2000 yang lalu, Dr. Ika Widyawati; staf bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memperkirakan terdapat kurang lebih 6.900 anak penyandang autisme di Indonesia. Jumlah tersebut menurutnya setiap tahun terus meningkat. Hal ini sungguh patut diwaspadai karena jika penduduk di Indonesia saat ini mencapai lebih dari 160 juta, kira-kira berapa orang yang terdata sungguh-sungguh menyandang austime beserta spektrumnya?

II.   MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas maka timbul masalah :
a)  Apa pengertian dari Autisme?
b)  Apa saja gejala yang terjadi pada penderita autisme?
c)  Bagaimana cara mendiagnosisnya?
d)  Bagaimana cara menanganinya?
e)  Apa saja terapi yang cocok untuk Autisme?

III. Tujuan
Tujuan dari pembahasan ini adalah untuk memahami lebih dalam anak Autisme, penyebabnya dan penanganan-penanganannya.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
BAB II
PEMBAHASAN

I.      PENGERTIAN AUTISME
Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993). Menurut Power (1989) karakteristik anak dengan autisme adalah adanya 6 gangguan dalam bidang:
§  interaksi sosial,
§  komunikasi (bahasa dan bicara),
§  gangguan sensorik dan motorik
§  perkembangan terlambat atau tidak normal.
Gejala ini mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil; biasanya sebelum anak berusia 3 tahun.
Autisme dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder R-IV merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung PDD (Pervasive Development Disorder) di luarADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan ADD (Attention Deficit Disorder). Gangguan perkembangan perpasiv (PDD) adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan beberapa kelompok gangguan perkembangan di bawah (umbrella term) PDD, yaitu:
1.     Autistic Disorder (Autism) Muncul sebelum usia 3 tahun dan ditunjukkan adanya hambatan dalam interaksi sosial, komunikasi dan kemampuan bermain secara imaginatif serta adanya perilaku stereotip pada minat dan aktivitas.
2.     Asperger’s Syndrome Hambatan perkembangan interaksi sosial dan adanya minat dan aktivitas yang terbatas, secara umum tidak menunjukkan keterlambatan bahasa dan bicara, serta memiliki tingkat intelegensia rata-rata hingga di atas rata-rata.
3.     Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified (PDD-NOS) Merujuk pada istilah atypical autism, diagnosa PDD-NOS berlaku bila seorang anak tidak menunjukkan keseluruhan kriteria pada diagnosa tertentu (Autisme, Asperger atau Rett Syndrome).
4.     Rett’s Syndrome Lebih sering terjadi pada anak perempuan dan jarang terjadi pada anak laki-laki. Sempat mengalami perkembangan yang normal kemudian terjadi kemunduran/kehilangan kemampuan yang dimilikinya; kehilangan kemampuan fungsional tangan yang digantikan dengan gerakkan-gerakkan tangan yang berulang-ulang pada rentang usia 1 – 4 tahun.
5.     Childhood Disintegrative Disorder (CDD) Menunjukkan perkembangan yang normal selama 2 tahun pertama usia perkembangan kemudian tiba-tiba kehilangan kemampuan-kemampuan yang telah dicapai sebelumnya.
Diagnosa Pervasive Develompmental Disorder Not Otherwise Specified (PDD – NOS) umumnya digunakan atau dipakai di Amerika Serikat untuk menjelaskan adanya beberapa karakteristik autisme pada seseorang (Howlin, 1998: 79). National Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY) di Amerika Serikat menyatakan bahwa Autisme dan PDD – NOS adalah gangguan perkembangan yang cenderung memiliki karakteristik serupa dan gejalanya muncul sebelum usia 3 tahun. Keduanya merupakan gangguan yang bersifatneurologis yang mempengaruhi kemampuan berkomunikasi, pemahaman bahasa, bermain dan kemampuan berhubungan dengan orang lain. Ketidakmampuan beradaptasi pada perubahan dan adanya respon-respon yang tidak wajar terhadap pengalaman sensoris seringkali juga dihubungkan pada gejala autisme.
II.    GEJALA
Gejala autisme dapat sangat ringan (mild), sedang (moderate) hingga parah (severe), sehingga masyarakat mungkin tidak menyadari seluruh keberadaannya. Parah atau ringannya gangguan autisme sering kemudian di-paralel-kan dengan keberfungsian. Dikatakan oleh para ahli bahwa anak-anak dengan autisme dengan tingkat intelegensi dan kognitif yang rendah, tidak berbicara (nonverbal), memiliki perilaku menyakiti diri sendiri, serta menunjukkan sangat terbatasnya minat dan rutinitas yang dilakukan maka mereka diklasifikasikan sebagai low functioning autism. Sementara mereka yang menunjukkan fungsi kognitif dan intelegensi yang tinggi, mampu menggunakan bahasa dan bicaranya secara efektif serta menunjukkan kemampuan mengikuti rutinitas yang umum diklasifikasikan sebagai high functioning autism. Dua dikotomi dari karakteristik gangguan sesungguhnya akan sangat berpengaruh pada implikasi pendidikan maupun model-model treatment yang diberikan pada para penyandang autisme. Kiranya melalui media ini penulis menghimbau kepada para ahli dan paktisi di bidang autisme untuk semakin mengembangkan strategi-strategi dan teknik-teknik pengajaran yang tepat bagi mereka. Apalagi mengingat fakta dari hasil-hasil penelitian terdahulu menyebutkan bahwa 80% anak dengan autisme memiliki intelegensi yang rendah dan tidak berbicara atau nonverbal. Namun sekali lagi, apapun diagnosa maupun label yang diberikan prioritasnya adalah segera diberikannya intervensi yang tepat dan sungguh-sungguh sesuai dengan kebutuhan mereka.
Referensi baku yang digunakan secara universal dalam mengenali jenis-jenis gangguan perkembangan pada anak adalah ICD (International Classification of Diseases) Revisi ke-10 tahun 1993 dan DSM (Diagnostic And Statistical Manual) Revisi IV tahun 1994 yang keduanya sama isinya. Secara khusus dalam kategori Gangguan Perkembangan Perpasiv (Pervasive Developmental Disorder/PDD): Autisme ditunjukkan bila ditemukan 6 atau lebih dari 12 gejala yang mengacu pada 3 bidang utama gangguan, yaitu: Interaksi Sosial – Komunikasi – Perilaku.
Autisme sebagai spektrum gangguan maka gejala-gejalanya dapat menjadi bukti dari berbagai kombinasi gangguan perkembangan. Bila tes-tes secara behavioral maupun komunikasi tidak dapat mendeteksi adanya autisme, maka beberapa instrumen screening yang saat ini telah berkembang dapat digunakan untuk mendiagnosa autisme:
§  Childhood Autism Rating Scale (CARS): skala peringkat autisme masa kanak-kanak yang dibuat oleh Eric Schopler di awal tahun 1970 yang didasarkan pada pengamatan perilaku. Alat menggunakan skala hingga 15; anak dievaluasi berdasarkan hubungannya dengan orang, penggunaan gerakan tubuh, adaptasi terhadap perubahan, kemampuan mendengar dan komunikasi verbal
§  The Checklis for Autism in Toddlers (CHAT): berupa daftar pemeriksaan autisme pada masa balita yang digunakan untuk mendeteksi anak berumur 18 bulan, dikembangkan oleh Simon Baron Cohen di awal tahun 1990-an.
§  The Autism Screening Questionare: adalah daftar pertanyaan yang terdiri dari 40 skala item yang digunakan pada anak dia atas usia 4 tahun untuk mengevaluasi kemampuan komunikasi dan sosial mereka
§  The Screening Test for Autism in Two-Years Old: tes screening autisme bagi anak usia 2 tahun yang dikembangkan oleh Wendy Stone di Vanderbilt didasarkan pada 3 bidang kemampuan anak, yaitu; bermain, imitasi motor dan konsentrasi.
Diagnosa yang akurat dari Autisme maupun gangguan perkembangan lain yang berhubungan membutuhkan observasi yang menyeluruh terhadap: perilaku anak, kemampuan komunikasi dan kemampuan perkembangan lainnya. Akan sangat sulit mendiagnosa karena adanya berbagai macam gangguan yang terlihat. Observasi dan wawancara dengan orang tua juga sangat penting dalam mendiagnosa. Evaluasi tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu memungkinkan adanya standardisasi dalam mendiagnosa. Tim dapat terdiri dari neurologpsikolog,pediatrikpaedagogpatologis ucapan/kebahasaan, okupasi terapi, pekerja sosial dan lain sebaginya.
Anak dengan autisme dapat tampak normal di tahun pertama maupun tahun kedua dalam kehidupannya. Para orang tua seringkali menyadari adanya keterlambatan kemampuan berbahasa dan cara-cara tertentu yang berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tersebut mungkin dapat menjadi sangat sensitif atau bahkan tidak responsif terhadap rangsangan-rangasangan darikelima panca inderanya (pendengaran, sentuhan, penciuman, rasa dan penglihatan). Perilaku-perilaku repetitif (mengepak-kepakan tangan atau jari, menggoyang-goyangkan badan dan mengulang-ulang kata) juga dapat ditemukan. Perilaku dapat menjadi agresif (baik kepada diri sendiri maupun orang lain) atau malah sangat pasif. Besar kemungkinan, perilaku-perilaku terdahulu yang dianggap normal mungkin menjadi gejala-gejala tambahan. Selain bermain yang berulang-ulang, minat yang terbatas dan hambatan bersosialisasi, beberapa hal lain yang juga selalu melekat pada para penyandang autisme adalah respon-respon yang tidak wajar terhadap informasi sensoris yang mereka terima, misalnya; suara-suara bising, cahaya, permukaan atau tekstur dari suatu bahan tertentu dan pilihan rasa tertentu pada makanan yang menjadi kesukaan mereka.
Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada para penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan hingga terberat sekalipun.
1.     Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.
2.     Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
3.     Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.
4.     Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
5.     Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu
Para penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam kemampuan yang dimiliki, tingkat intelegensi, dan bahkan perilakunya. Beberapa diantaranya ada yang tidak 'berbicara' sedangkan beberapa lainnya mungkin terbatas bahasanya sehingga sering ditemukan mengulang-ulang kata atau kalimat (echolalia). Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang tinggi umumnya menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit memahami konsep-konsep yang abstrak. Dengan demikian, selalu terdapat individualitas yang unik dari individu-individu penyandangnya.
Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan pedoman bagi para orang tua dan para praktisi untuk lebih waspasa dan peduli terhadap gejala-gejala yang terlihat. The National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) di Amerika Serikatmenyebutkan 5 jenis perilaku yang harus diwaspadai dan perlunya evaluasi lebih lanjut :
1.     Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan
2.     Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, dada, menggenggam) hingga usia 12 bulan
3.     Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan
4.     Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24 bulan
5.     Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia tertentu
Adanya kelima ‘lampu merah’ di atas tidak berarti bahwa anak tersebut menyandang autisme tetapi karena karakteristik gangguan autisme yang sangat beragam maka seorang anak harus mendapatkan evaluasi secara multidisipliner yang dapat meliputi; NeurologPsikolog,PediatricTerapi WicaraPaedagog dan profesi lainnya yang memahami persoalan autisme.
III.   IMPLIKASI DIAGNOSA AUTISME
Secara historis, diagnosa autisme memiliki persoalan; suatu ketika para ahli dan peneliti dalam bidang autisme bersandarkan pada ada atau tidaknya gejala, saat ini para ahli dan peneliti tampaknya berpindah menuju berbagai karakteristik yang disebut sebagai continuum autism. Aarons dan Gittents (1992) merekomendasikan adanya descriptive approach to diagnosis. Ini adalah suatu pendekatan deskriptif dalam mendiagnosa sehingga menyertakan observasi-observasi yang menyeluruh di setting-setting sosial anak sendiri. Settingya mungkin di sekolah, di taman-taman bermain atau mungkin di rumah sebagai lingkungan sehari-hari anak dimana hambatan maupun kesulitan mereka tampak jelas diantara teman-teman sebaya mereka yang ‘normal’.
Persoalan lain yang mempengaruhi keakuratan suatu diagnosa seringkali juga muncul dari adanya fakta bahwa perilaku-perilaku yang bermasalah merupakan atribut dari pola asuh yang kurang tepat. Perilaku-perilaku tersebut mungkin saja merupakan hasil dari dinamika keluarga yang negatif dan bukan sebagai gejala dari adanya gangguan. Adanya interpretasi yang salah dalam memaknai penyebab mengapa anak menunjukkan persoalan-persoalan perilaku mampu menimbulkan perasaan-perasaan negatif para orang tua. Pertanyaan selanjutnya kemudian adalah apa yang dapat dilakukan agar diagnosa semakin akurat dan konsisten sehingga autisme sungguh-sungguh terpisah dengan kondisi-kondisi yang semakin memperburuk? Perlu adanya sebuah model diagnosa yang menyertakan keseluruhan hidup anak dan mengevaluasi hambatan-hambatan dan kesulitan anak sebagaimana juga terhadap kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan anak sendiri. Mungkin tepat bila kemudian disarankan agar para profesional di bidang autisme juga mempertimbangkan keseluruhan area, misalnya: perkembangan awal anak, penampilan anak, mobilitas anak, kontrol dan perhatian anak, fungsi-fungsi sensorisnya, kemampuan bermain, perkembangan konsep-konsep dasar, kemampuan yang bersifat sikuen, kemampuan musikal, dan lain sebagainya yang menjadi keseluruhan diri anak sendiri.
Bagi para orang tua dan keluarga sendiri perlu juga dicatat bahwa gejala autisme bersifat individual; akan berbeda satu dengan lainnya meskipun sama-sama dianggap sebagai low functioning atau dianggap sebagai high functioning. Membutuhkan kesabaran untuk menghadapinya dan konsistensi untuk dalam penanganannya sehingga perlu disadari bahwa bahwa fenomena ini adalah suatu perjalanan yang panjang. Jangan berhenti pada ketidakmampuan anak tetapi juga perlu menggali bakat-bakat serta potensi-potensi yang ada pada diri anak. Sebagai inspirasi kiranya dapat disebutkan beberapa penyandang autisme yang mampu mengembangkan bakat dan potensi yang ada pada diri mereka, misalnya: Temple Grandine yang mampu mengembangkan kemampuan visual dan pola berpikir yang sistematis sehingga menjadi seorang Doktor dalam bidang peternakan, Donna William yang mampu mengembangkan kemampuan berbahasa dan bakat seninya sehingga dapat menjadi seorang penulis dan seniman, Bradley Olson seorang mahasiswa yang mampu mengembangkan kemampuan kognitif dan kebugaran fisiknya sehingga menjadi seorang pemuda yang aktif dan tangkas dan mungkin masih banyak nama-nama lain yang dapat menjadi sumber inspirasi kita bersama. Pada akhirnya, sebuah label dari suatu diagnosa dapat dikatakan berguna bila mampu memberikan petunjuk bagi para orang tua dan pendidik mengenai kondisi alamiah yang benar dari seorang anak. Label yang menimbukan kebingungan dan ketidakpuasan para orang tua dan pendidik jelas tidak akan membawa manfaat apapun.
IV.  PENANGANAN
Intensitas dari treatment perilaku pada anak dengan autisme merupakan hal penting, namun persoalan-persoalan mendasar yang ditemui di Indonesia menjadi sangat krusial untuk diatasi lebih dahulu. Tanpa mengabaikan faktor-faktor lain, beberapa fakta yang dianggap relevan dengan persoalan penanganan masalah autisme di Indonesia diantaranya adalah:
1.    Kurangnya tenaga terapis yang terlatih di Indonesia. Orang tua selalu menjadi pelopor dalam proses intervensi sehingga pada awalnya pusat-pusat intervensi bagi anak dengan autisme dibangun berdasarkan kepentingan keluarga untuk menjamin kelangsungan pendidikan anak mereka sendiri.
2.    Belum adanya petunjuk treatment yang formal di Indonesia. Tidak cukup dengan hanya mengimplementasikan petunjuk teatment dari luar yang penerapannya tidak selalu sesuai dengan kultur kehidupan anak-anak Indonesia.
3.    Masih banyak kasus-kasus autisme yang tidak di deteksi secara dini sehingga ketika anak menjadi semakin besar maka semakin kompleks pula persoalan intervensi yang dihadapi orang tua. Para ahli yang mampu mendiagnosa autisme, informasi mengenai gangguan dan karakteristik autisme serta lembaga-lembaga formal yang memberikan layanan pendidikan bagi anak dengan autisme belum tersebar secara merata di seluruh wilayah di Indonesia.
4.    Belum terpadunya penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan autisme di sekolah. Dalam Pasal 4 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah diamanatkan pendidikan yang demokratis dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dukungan ini membuka peluang yang besar bagi para penyandang autisme untuk masuk dalam sekolah-sekolah umum (inklusi) karena hampir 500 sekolah negeri telah diarahkan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan inklusi.
5.    Permasalahan akhir yang tidak kalah pentingnya adalah minimnya pengetahuan baik secara klinis maupun praktis yang didukung dengan validitas data secara empirik (Empirically Validated Treatments/EVT) dari penanganan-penanganan masalah autisme di Indonesia. Studi dan penelitian autisme selain membutuhkan dana yang besar juga harus didukung oleh validitas data empirik, namun secara etis tentunya tidak ada orang tua yang menginginkan anak mereka menjadi percobaan dari suatu metodologi tertentu. Kepastian dan jaminan bagi proses pendidikan anak merupakan pertimbangan utama bagi orang tua dalam memilih salah satu jenis treatment bagi anak mereka sehingga bila keraguan ini dapat dijawab melalui otoritas-otoritas ilmiah maka semakin terbuka informasi bagi masyarakat luas mengenai pengetahuan-pengetahuan baik yang bersifat klinis maupun praktis dalam proses penanganan masalah autisme di Indonesia.
V.   TERAPI BAGI INDIVIDU AUTISME
Bila ada pertanyaan mengenai terapi apa yang efektif? Maka jawaban atas pertanyaan ini sangat kompleks, bahkan para orang tua dari anak-anak dengan autisme pun merasa bingung ketika dihadapkan dengan banyaknya treatment dan proses pendidikan yang ditawarkan bagi anak mereka. Beberapa jenis terapi bersifat tradisional dan telah teruji dari waktu ke waktu sementara terapi lainnya mungkin baru saja muncul. Tidak seperti gangguan perkembangan lainnya, tidak banyak petunjuk treatment yang telah dipublikasikan apalagi prosedur yang standar dalam menangani autisme. Bagaimanapun juga para ahli sependapat bahwa terapi harus dimulai sejak awal dan harus diarahkan pada hambatan maupun keterlambatan yang secara umum dimiliki oleh setiap anak autis, misalnya; komunikasi dan persoalan-persolan perilaku. Treatment yang komprehensif umumnya meliputi; Terapi Wicara (Speech Therapy), Okupasi Terapi (Occupational Therapy) dan Applied Behavior Analisis (ABA) untuk mengubah serta memodifikasi perilaku.
Berikut ini adalah suatu uraian sederhana dari berbagai literatur yang ada dan ringkasan penjelasan yang tidak menyeluruh dari beberapa treatment yang diakui saat ini. Menjadi keharusan bagi orang tua untuk mencari tahu dan mengenali treatment yang dipilihnya langsung kepada orang-orang yang profesional dibidangnya. Sebagian dari teknik ini adalah program menyeluruh, sedang yang lain dirancang menuju target tertentu yang menjadi hambatan atau kesulitan para penyandangnya.
§  Educational Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: Applied Behavior Analysis (ABA) yang prinsip-prinsipnya digunakan dalam penelitian Lovaas sehingga sering disamakan dengan Discrete Trial Training atau Intervensi Perilaku Intensif.
§  Pendekatan developmental yang dikaitkan dengan pendidikan yang dikenal sebagai Floortime.
§  TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication – Handicapped Children).
§  Biological Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: diet, pemberian vitamin dan pemberian obat-obatan untuk mengurangi perilaku-perilaku tertentu (agresivitas, hiperaktif, melukai diri sendiri, dsb.).
§  Speech – Language Therapy (Terapi Wicara), meliputi tetapi tidak terbatas pada usaha penanganan gangguan asosiasi dan gangguan proses auditory/pendengaran.
§  Komunikasi, peningkatan kemampuan komunikasi, seperti PECS (Picture Exchange Communication System), bahasa isyarat, strategi visual menggunakan gambar dalam berkomunikasi dan pendukung-pendukung komunikasi lainnya.
§  Pelayanan Autisme Intensif, meliputi kerja team dari berbagai disiplin ilmu yang memberikan intervensi baik di rumah, sekolah maupun lngkungan sosial lainnya.
§  Terapi yang bersifat Sensoris, meliputi tetapi tidak terbatas pada Occupational Therapy (OT), Sensory Integration Therapy (SI) dan Auditory Integration Training (AIT).
Dengan adanya berbagai jenis terapi yang dapat dipilih oleh orang tua, maka sangat penting bagi mereka untuk memilih salah satu jenis terapi yang dapat meningkatkan fungsionalitas anak dan mengurangi gangguan serta hambatan autisme. Sangat disayangkan masih minim data ilmiah yang mampu mendukung berbagai jenis terapi yang dapat dipilih orang tua di Indonesia saat ini. Fakta menyebutkan bahwa sangat sulit membuat suatu penelitian mengenai autisme. Sangat banyak variabel-variabel yang dimiliki anak, dari tingkat keparahan gangguannya hingga lingkungan sekitarnya dan belum lagi etika yang ada didalamnya untuk membuat suatu penelitian itu sungguh-sungguh terkontrol. Sangat tidak mungkin mengontrol semua variabel yang ada sehingga data yang dihasilkan dari penelitian-penelitian sebelumnya mungkin secara statistik tidak akurat.
Tidak ada satupun jenis terapi yang berhasil bagi semua anak. Terapi harus disesuaikan dengan kebutuhan anak, berdasarkan pada potensinya, kekurangannya dan tentu saja sesuai dengan minat anak sendiri. Terapi harus dilakukan secara multidisiplin ilmu, misalnya menggunakan; okupasi terapi, terapi wicara dan terapi perilaku sebagai basisnya. Tenaga ahli yang menangani anak harus mampu mengarahkan pilihan-pilihan anda terhadap berbagai jenis terapi yang ada saat ini. Tidak ada jaminan apakah terapi yang dipilih oleh orang tua maupun keluarga sungguh-sungguh akan berjalan efektif. Namun demikian, tentukan salah satu jenis terapi dan laksanakan secara konsisten, bila tidak terlihat perubahan atau kemajuan yang nyata selama 3 bulan dapat melakukan perubahan terapi. Bimbingan dan arahan yang diberikan harus dilaksanakan oleh orang tua secara konsisten. Bila terlihat kemajuan yang signifikan selama 3 bulan maka bentuk intervensi lainnya dapat ditambahkan. Tetap bersikap obyektif dan tanyakan kepada para ahli bila terjadi perubahan-perubahan perilaku lainnya.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
BAB III
KESIMPULAN
Autisme dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder R-IV merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung PDD (Pervasive Development Disorder) di luarADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan ADD (Attention Deficit Disorder). Gejala autisme dapat sangat ringan (mild), sedang (moderate) hingga parah (severe), sehingga masyarakat mungkin tidak menyadari seluruh keberadaannya. Parah atau ringannya gangguan autisme sering kemudian di-paralel-kan dengan keberfungsian. Dikatakan oleh para ahli bahwa anak-anak dengan autisme dengan tingkat intelegensi dan kognitif yang rendah, tidak berbicara (nonverbal), memiliki perilaku menyakiti diri sendiri, serta menunjukkan sangat terbatasnya minat dan rutinitas yang dilakukan maka mereka diklasifikasikan sebagai low functioning autism.
REFERENSI
Rubenstein David. 2003. Kedokteran Klinis. Edisi VI. Jakarta : Erlangga.
American Medical Association. 1901. The journal of The American Medical Association, jilid 37, bagian 2. Princeton University : American Medical Association Press.
Harwoord-Nuss. 2010. Clinical Practice Of Emergency Medicine. Edisi V. Philadelpia : Wolter Kluer Bussiness.
Kartini Kartono, Dali Gulo. 1987. Kamus Psikologi. Universitas Michigan : Pionir Jaya.
wednesday, 29th dec 2010